TUGAS MAKALAH
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS ISIFOL
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT,
atas izin kekuatan dan petunjuk ridha-Nya, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah berjudul “berbuat baik kepada tetangga”.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini dapat terselesaikan karena
adanya bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini izinkan
kami berterimakasih kepada :
1. Dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Agam Islam.
2. Rekan-Rekan
penyusun yang telah memberikan bantuan, baik berupa ide, waktu maupun tenaga
demi terselesaikannya makalah ini.
Semoga semua amal kebaikan dari pihak tersebut mendapat keridloan
dari Allah SWT.Penyusun berharap semoga apa yang dituliskan dalam makalah ini
bermanfaat bagi rekan-rekan sesama mahasiswa.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari sempurna dan masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang menbangun demi perbaikan kami kedepan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENULISAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENULISAN
Hukum syara’ adalah
hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi orang yang sudah
baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah
yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
Dalam Islam telah di gambarkan
proses kejadian manusia yang sejalan dengan hasil penelitian di bidang ilmu
pengetahuan modern. Menurut asal kejadiannya manusia itu adalah bersaudara.
Semua manusia terdiri dan unsur jasmasni dan rohani. Jasmani adalah unsur yang
dapat dilihat dan disentuh oleh panca Indera, sedangkan rohani merupakan unsur
yang tidak dilihat dan disentuh panca indera. Jamani adalah bagian manusia yang
melakukan gerakan fisik seperti : bernafas, makan, minum, berjalan dll.
Sedangkan rohani melakukan aktifitas berfikir, yang mendorong manusia
membedakan yang baik dan yang buruk.
Oleh karena itu penyusun mencoba membuat tulisan sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya serta kemaanfaatan dari mempelajarinya.
Oleh karena itu penyusun mencoba membuat tulisan sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya serta kemaanfaatan dari mempelajarinya.
BAB II
1.A.Pengertian Hukum Syara’
Hukum syara’ menurut istilah ulama ahli ushul adalah khithob (doktrin) syar’i yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau ketetapan. Yang dimaksud dengan yang menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati. Seperti firman Allah :
Hukum syara’ menurut istilah ulama ahli ushul adalah khithob (doktrin) syar’i yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau ketetapan. Yang dimaksud dengan yang menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati. Seperti firman Allah :
أوفوا بالعقود
“penuhilah
janji”
Adalah doktrin syar’i (Allah) yang berhubungan dengan menepati janji dengan
tuntutan melaksanakan.Nash yang keluar dari syar’i yang menunjukkan tuntutan,
pilihan, atau ketetapan itulah yang disebut hukum syara’ menurut istilah ahli
ushul.
Adapun hukum syara’ menurut istilah ahli fikih adalah pengeruh yang ditimbulkan oleh doktrin syar’i dalam perbuatan (mukallaf), seperti kewajiban, keharaman, dan kebolehan. Jadi firman Allah أوفوا بالعقود (penuhilah janji), maksudnya adalah kewajiban memenuhi janji. Nash itu sendiri adalah hukum menurut istilah ahli ushul, sedangkan kewajiban memenuhi adalah hukum menurut istilah ahli fikih.
Dari pengertian hukum syara’ menurut istilah ahli ushul dapat disimpulkan bahwa hukum itu tidak hanya satu macam. Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan Hukum Taklifi, dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan dengan Hukum Wadh’i.
Adapun hukum syara’ menurut istilah ahli fikih adalah pengeruh yang ditimbulkan oleh doktrin syar’i dalam perbuatan (mukallaf), seperti kewajiban, keharaman, dan kebolehan. Jadi firman Allah أوفوا بالعقود (penuhilah janji), maksudnya adalah kewajiban memenuhi janji. Nash itu sendiri adalah hukum menurut istilah ahli ushul, sedangkan kewajiban memenuhi adalah hukum menurut istilah ahli fikih.
Dari pengertian hukum syara’ menurut istilah ahli ushul dapat disimpulkan bahwa hukum itu tidak hanya satu macam. Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan Hukum Taklifi, dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan dengan Hukum Wadh’i.
B.Syariah dan Hukum Syara’
Syariah
Makna bahasa dari kata “Syariah” adalah sumber
air yang tidak ada habis di mana orang-orang memenuhi dahaganya. Sesuai dengan
arti secara bahasa makna Syariah adalah hukum Islam yang menjadi sumber
petunjuk. Sebagaimana air yang merupakan dasar kehidupan, hukum Islam juga
merupakan sumber penting untuk mengarahkan kehidupan manusia.
Syariah terdiri dari semua hukum yang
diperoleh dari sumber hukum Islam. Hukum ini tidak terbatas pada masalah
pernikahan atau perceraian saja, tetapi mencakup setiap perbuatan individu atau
masyarakat. Kata Syariah juga merupakan sinonim dari fiqih.
Hukum Syara’
Al Qur’an dan Sunnah membicarakan berbagai
topik seperti, kisah bangsa-bangsa terdahulu, hari pembalasan, dan yang
lainnya. Tidak hanya itu, ada banyak nash yang membicarakan secara khusus
mengenai perbuatan kita apakah harus dikerjakan atau terlarang, bagian ini
dijadikan rujukan hukum Syara’.
Istilah hukum Syara’ dalam bahasa Arab
maksudnya adalah seruan Pembuat Hukum (asy Syari’) berkenaan dengan perbuatan
kita. Islam membahas semua perbuatan kita apakah boleh atau tidak. Setiap
perbuatan kita harus mengikuti hukum Syara’. Allah berfirman:
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
(Al-Maidah: 45)
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin
dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al-Ahzab: 36)
2.A. Pembagian hukum syara’
Hukum syara’ terbagi dua macam:
a. Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.
b. Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
a. Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.
b. Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
3.a Hukum taklifi
Banyak
orang Islam yang terlalu cepat menyimpulkan bahwa sesuatu Haram atau Fardu
setelah membaca ayat atau hadits. Padahal tidak setiap perintah dari sumber
hukum adalah Fardu atau Haram. Aturan untuk memahaminya, yang digunakan untuk
membedakan jenis-jenis hukum Syara’ berkaitan dengan Ushul Fiqih.
Bentuk-bentuk hukum
taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu :
A. Fardu (wajib)
Jika seruan untuk melakukan sesuatu adalah
pasti (talab jazim) maka hukumnya Fardu atau Wajib, keduanya memiliki makna
yang sama. Seseorang yang mengerjakan yang Fardu akan diberi pahala sedangkan
yang tidak taat akan mendapat siksa.
Contoh: melaksanakan dan mendirikan shalat,
membayar zakat, berpartisipasi dalam jihad, mematuhi hukum Islam, seorang
muslimah mengunakan hijab, dll.
B. Haram (terlarang)
Jika seruannya berkaitan dengan perintah yang
pasti untuk meninggalkan sebuah perbuatan maka perbuatan tersebut hukumnya
Haram atau Mahdzur. Jika perbuatan haram dikerjakan, maka akan mendapat siksa
sedang yang meninggalkannya akan mendapat pahala.
Contoh: melakukan riba, berjudi, menyerukan
nasionalisme atau demokrasi.
C. Mandub, Mustahab, Sunnah atau Nafilah
(dianjurkan)
Jika seruan untuk melakukan perbuatan bersifat
tidak pasti maka hukumnya Mandub. Seseorang yang mengerjkakannya mendapat
keutamaan dan pahala. Sedangkan yang tidak mengerjakannya tidak dicela ataupun
dihukum.
Contoh: menjenguk orang yang sakit, bersedekah
kepada orang yang miskin, shaum senin kamis.
D. Makruh (tidak disukai)
Jika seruan untuk meninggalkan perbuatan besifat
tidak pasti maka hukumnya makruh. Orang yang meninggalkannya mendapat keutamaan
dan pahala sedangkan mengerjakannya tidak dicela ataupun dihukum.
Contoh: shalat diantara waktu subuh dan terbit
matahari, makan bawang sebelum pergi ke masjid, membuang sampah di jalan.
E. Mubah (boleh)
Jika pilihan mengerjakan atau meninggalkan
perbuatan diserahkan kepada masing-masing, maka perbuatan tersebut hukumnya
Mubah. Yang mengerjakannya tidak akan diberi pahala atau pun mendapat siksa.
Seperti memakan domba atau ayam, menikah
sampai empat istri, mengemudi mobil, dll
Sebagian hukum Syara’ seperti Fardu dibagi
lagi menjadi beberapa subkategori. Sebagai contoh: Fardu dibagi menjadi Fardu
‘Ain dan Fardu Kifayah. Fardu ‘Ain adalah kewajiban setiap muslim, seperti shalat
lima waktu setiap harinya, shaum di bulan ramadan, memenuhi kewajiban kepada
suami atau istrinya. Sedangkan Fardu Kifayah merupakan kewajiban kepada seluruh
umat hingga sebagian dari umat menyelesaikan Fardu tersebut, seperti mengurus
pemakaman seorang muslim yang meninggal. Jika sebagian dari umat mengerjakan
tugas tersebut, maka terangkatlah kewajiban atas sebagian yang lain.
4.a. Hukum wadh’i
a. Sebab, adalah suatu
hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Misalnya dalam firman Allah
dalam surat al-Isra: 78, yang artinya: “Dirikanlah shalat sesudah matahari
tergelincir.”
Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
b. Syarat, adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’tetapi keberadaan hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6 yang artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.”
Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
b. Syarat, adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’tetapi keberadaan hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6 yang artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.”
c.Mani’ (penghalang), adalah sifat yang keberadaannya
menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi
yang berbunyi: “Pembunuh tidak memdapat waris.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
d. Shahih, adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.
e. Bathil, adalah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya: memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
d. Shahih, adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.
e. Bathil, adalah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya: memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.
5. OBJEK HUKUM (MAHKUM BIH)
Objek hukum atau mahkum nih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i.[3]
Adapun syarat-syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum menurut para ahli Ushul Fiqh adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan itu sah dan jelas adanya; tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti mencat langit.
2. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3. Perbuatan itu sesuat yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.
Objek hukum atau mahkum nih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i.[3]
Adapun syarat-syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum menurut para ahli Ushul Fiqh adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan itu sah dan jelas adanya; tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti mencat langit.
2. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3. Perbuatan itu sesuat yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.
6.A SUBJEK HUKUM (MAHKUM ‘ALAIH)
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
Adapun syarat-syarat taklif atas subjek hukum, adalah sebagai berikut:
1. Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah.
2. Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum.
3. Ahliyah al-Ada Kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
Adapun syarat-syarat taklif atas subjek hukum, adalah sebagai berikut:
1. Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah.
2. Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum.
3. Ahliyah al-Ada Kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
B. PEMBUAT HUKUM (HAKIM)
Pembuat hukum (syar’i) dalam pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan kepentingan hidup di dunia maupun untuk kepentingan hidup di akhirat; baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pembuat hukum (syar’i) satu-satunya bagi umat Islam adalah Allah. Sebagaimana ditegaskan firman Allah dalam surat al-An’am: 57, Yusuf: 40 dan 67 yang artinya: “Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah.”
Pembuat hukum (syar’i) dalam pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan kepentingan hidup di dunia maupun untuk kepentingan hidup di akhirat; baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pembuat hukum (syar’i) satu-satunya bagi umat Islam adalah Allah. Sebagaimana ditegaskan firman Allah dalam surat al-An’am: 57, Yusuf: 40 dan 67 yang artinya: “Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah.”
7. Manfaat mempelajari hukum syara’
Hukum syara’ adalah hukum yang sangat penting untuk
dipelajari terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal.
Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah.
Karna sesungguhnya Semua manusia itu terdiri dan unsur
jasmasni dan rohani. Jasmani adalah unsur yang dapat dilihat dan disentuh oleh
panca Indera, sedangkan rohani merupakan unsur yang tidak dilihat dan disentuh
panca indera. Jamani adalah bagian manusia yang melakukan gerakan fisik seperti
: bernafas, makan, minum, berjalan dll. Sedangkan rohani melakukan aktifitas
berfikir, yang mendorong manusia membedakan yang baik dan yang buruk. Dan
mempelajari hukum syara’ akan menuntun manusia kedalam kehidupan yang diridloi
ilahi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum syara’ adalah seperangkat
peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui
dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
- Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
- Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
- Hukum wadh’i terbagi menjadi 5 macam yaitu sebab, syarat, mani, shihah dan bathil.
- Objek hukum atau mahkum nih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i
- Mahkum ‘alaih atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
- Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
- Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
- Hukum wadh’i terbagi menjadi 5 macam yaitu sebab, syarat, mani, shihah dan bathil.
- Objek hukum atau mahkum nih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i
- Mahkum ‘alaih atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
-Pembuat
hukum syara’ dalam pengertian islam adalah allah SWT.
Masih
terlalu banyak hal-hal yang belum terpenuhi dari kebutuhan manusia di muka bumi
ini sebagai mana sifat manusia yang tidak pernah merasa puas dengan hasil kerja
kerasnya, hal ini adalah salah satu Qodrat manusia yang diciptakan untuk tidak
saling melepaskan antara satu dengan yang lainnya, keterkaitan ini adalah
merupakan simbol bahwa manusia itu diciptakan agar saling mengenal,
menyanyangi, mengayomi, memberikan bantuan kepada yang membutuhkan. Sebagai
makhluk yang paling sempurna yang dilengkapi akal dan fikiran maka sangat wajar
jika manusia juga memikirkan sesama dan alam sekitarnya. Untuk kelangsungan
hidup yang lebih mapan tanpa harus saling menjatuhkan dan menindas kaum yang
lemah.
Kritik dan saran
Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekeliruan
didalamnya serta tidak terstrukturnya pola pembahasan yang kami paparkan. Satu
hal yang kami pahami bahwa tiada manusia yang sempurna tanpa kesalahan dengan
segala yang dimilikinya. Oleh karena itu demi kesempurnaan isi makalah ini,
dengan segala kerendahan hati kami memerima saran dan kritikan yang sifatnya
membangun, berpijak dari itu makalah yang sederhana ini dapat menambah wawasan
keilmuan terutama generasi Islam di masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Amrullah. SF
dkk., Dimensi hukum Islam dalam Sistem hukum Nasional, Mengenang 65
tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, SH., Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press,
1996
al-Sais, Muhammad Ali. Nasy’at al-Fiqhi al-Ijtih±diy wa Athwaruh, t.tp: Majma’al-Buhust al-Islamiyah, 1970
Arifin Bustanul, Perkembangan hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Djamil, H. Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Kansil, C.S.T., Pengantar Hukum Islam dan Tata Hukum Indonesia, Cet. VIII; Jakarta; Balai Pustaka, 1989
al-Sais, Muhammad Ali. Nasy’at al-Fiqhi al-Ijtih±diy wa Athwaruh, t.tp: Majma’al-Buhust al-Islamiyah, 1970
Arifin Bustanul, Perkembangan hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Djamil, H. Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Kansil, C.S.T., Pengantar Hukum Islam dan Tata Hukum Indonesia, Cet. VIII; Jakarta; Balai Pustaka, 1989
Syaltut, Mahmud,
al-Isl±m Aqidah wa Syari’ah, t.tp: Dar al-Qalam, t.h
Syarifuddin, Amir, Pengertian dan Sumber Hukum Islam, Jakarta: Ardee Jaya, 198
Syarifuddin, Amir, Pengertian dan Sumber Hukum Islam, Jakarta: Ardee Jaya, 198
Belajar hukum islam
1. Apa
hukumnya bagi kaum wanita yang bekerja
diluar rumah? Jelaskan dan carikan dalilnya!
2. Apa
manfaat hadits dari Al-Quran?
3. Apa
yang dimaksud dengan ijtihad? Berikan
contohnya!
4. Apa
yang dimaksud dengan Al-Istihsan? Kapan
hal ini dapat dipergunakan?
5. Apa
yang dimaksud dengan Fatwa? Berikan 3
contoh fatwa di Indonesia!
Jawab:
1.
Islam tidak memberatkan wanita yang
ingin bekerja diluar
rumah (berkarir),dan islam menghendaki agar wanita melakukan
pekerjaan/karir
yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak
mengungkung
haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang dapat menjaga
kehormatan
dirinya, kemuliaannya dan ketenangannya serta menjaganya dari pelecehan
dan
pencampakan.
قَولُهُ إلَى أجْنَبِيَّةٍ) اى إلَى شَيءٍ مِنْ امْرَأةٍ أجْنَبِيَّةٍ اى غَيْرِ مَحْرَمٍ وَلَوْ أمَةً. شَمَلَ ذَلِكَ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا فَيَحْرُمُ النَّظْرُ إلَيْهِمَا وَلَو مِنْ غَيْرِ شَهْوَةٍ او خُوفِ فِتْنَةٍ عَلَى الصَّحِيْحِ كَمَا فِى المِنْهَجِ وَغَيْرِهِ إلَى أَنْ قَالَ: وَقِيْلَ لاَ يَحْرُمُ لِقَولِهِ تَعَالَى: ولاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَهُوَ مُفَسِّرٌ بِالوَجْهِ وَالكَفَّيْنِ.
وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ, وَلاَ بَأسَ بِتَقْلِيْدِ الثَّانِى لاَ سِيَمًا فِى هَذَا الزَّمَانِ الَّذِى كَثُرَ فِيْه خُرُوجُ النِّسَآءِ فِى الطُّرُقِ وَالأسْوَاقِ وَشَمَلَ ذَلِكَ ايْضًا شَعْرَهَا وَظُفْرَهَا.
(Ucapan
Mushonnif: kepada wanita lain ), artinya kepada sesuatu dari wanita
lain, yaitu
yang bukan muhrim,meskipun budak belian. Hal itu meliputi mukanya dan
kedua
telapak tangannya, sehingga haram memandang muka dan kedua telapak
tangan,meskipun tanpa sahwat atau rasa takut terhadap fitnah,menurut
pendapat
yang benar sebagaimana tersebut dalam kitab Al-Minhaj dan lainnya, sampai
pada ucapan Mushanif: Dan dikatakan: tidak haram berdasar firman Allah
ta'ala:
"dan jnganlah para wanita menampakan tempat perhiasan mereka kecuali apa
yang nampak darinya.
Apa yang nampak
ini ditafsirkan dengan muka dan kedua telapak tangan. Pendapat yang
dapat
dipegangi adalah yang pertama.dan tidak berdosa mengikuti pendapat yang
kedua,lebih
lebih pada zaman ini
yang banyak
para wanita keluar ke jalan-jalan dan pasar. Dan itu juga termasuk
rambut
kukunya".
Maka
seorang wanita diperbolehkan untuk
keluar rumah dan bekerja dengan suatu keadaan atau jenis-jenis pekerjaan
tertentu yang menuntut seorang wanita untuk melakukannya, seperti
perawat,
bidan, penjahit wanita, dokter kandungan dan lainnya.
Atau dikarenakan keadaan ekonomi
keluarganya yang
menuntut dirinya bekerja membantu suaminya dalam memenuhi kebutuhan
hidup
harian keluarganya atau seperti seorang janda yang harus memenuhi
kebutuhan
anak-anaknya yang masih kecil.
Hal seperti ini menuntut dirinya
untuk keluar rumah
mencari pekerjaan ketimbang ia harus mengemis belas kasih orang lain.
Untuk itu
islam memberikan beberapa persyaratan yang harus diperhatikan oleh
setiap
wanita yang bekerja di luar rumah demi kebaikan diri dan masyarakatnya
serta
menjaga kehormatannya.
Ada pula syarat-syarat yang harus
dipenuhi
ketika ingin keluar rumah seperti: Mengenakan
Pakaian yang Menutup Aurat,
Tidak Tabarruj atau
Memamerkan
Perhiasan dan Kecantikan,
Tidak Melunakkan,
Memerdukan atau
Mendesahkan Suara, Menjaga Pandangan, Aman
dari Fitnah, Mendapatkan Izin Dari Orang Tua
atau Suaminya.
2. Dalam
hukum Islam, hadits menjadi sumber hukum kedua
setelah al-Qur`an. Penetapan hadits sebagai sumber kedua ditunjukan oleh
tiga
hal, yaitu al-Qur`an sendiri, kesepakatan ulama, dan logika akal sehat.
Al-Quran menekankan bahwa Rasul Saw berfungsi menjelaskan maksud
firman-firman
Allah (QS. 16:44). Karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti,
bahkan
perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani oleh kaum muslimin.
Sejak
masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan
hokum
didasarkan juga kepada sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan
petunjuk
operasional. Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula
dengan
kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya memberikan garis-garis besar dan
petunjuk umum
yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat
dilaksanakan
dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadits sebagai sumber
kedua
secara logika dapat diterima.
Di antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa hadits merupakan sumber hokum dalam Islam adalah sebagai berikut :
An- Nisa’: 80
Di antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa hadits merupakan sumber hokum dalam Islam adalah sebagai berikut :
An- Nisa’: 80
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ … (80)
“Barangsiapa
yang mentaati Rosul, maka sesungguhnya
dia telah mentaati Alloh…”
Dalam Q.S AnNisa’ 59, Allah berfirman :
Dalam Q.S AnNisa’ 59, Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ …
3. Ijtihad adalah pengerahan segenap
kesanggupan dari
seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat
dhann
terhadap suatu hukum syara’ (hukum Islam). ijtihad
) Al-jahd atau al-juhd
)
yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat
(kesanggupan
dan kemampuan). Ijtihad juga diartikan sebagai kesungguhan para ulama’
mujtahid
untuk menentukan suatu hukum dari masalah-masalah yang datang dari hukum
syara’. Contoh kecil dimana ijtihad ini
harus dipakai adalah pada saat menentukan datangnya bulan ramadlan.
4. Ihtisan adalah kecenderungan
seseorang pada sesuatu
karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy)
ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.
Hal
ini boleh dipergunakan mana kala seseorang sedang menghadapi dua pilihan
yang
sama baik. Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam
Ahmad
bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap
waktu
shalat atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu
sama
kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak wajib
dilakukan
pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal. Dengan kata lain,
tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu
shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib
dilakukan setiap waktu shalat berganti.
5. Fatwa
adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah
lembaga
atau perorangan yang diakui otoritasnya, atau biasa juga disebut dengan
nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. Contoh fatwa :
1. fatwa MUI merokok itu haram karena banyak
mudarat daripada manfaatnya.Alasannya, ditinjau dari segi kesehatan dan
keuangan bisa merugikan perokok.
2. MUI mengeluarkan fatwa haram untuk acara
atau berita infotainment yang menyebarkan gosip maupun aib seseorang
termasuk
aib yang berbau pornografi.
3. Fatwa MUI Mengharamkan kawin kontrak atau
nikah wisata.
No comments:
Post a Comment