Translate

Ilmu dan hukum islam



TUGAS MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS ISIFOL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2011



KATA PENGANTAR


Alhamdulillah, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, atas izin kekuatan dan petunjuk ridha-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah berjudul “berbuat baik kepada tetangga”.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini izinkan kami berterimakasih kepada :
1. Dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Agam Islam.
2. Rekan-Rekan penyusun yang telah memberikan bantuan, baik berupa ide, waktu maupun tenaga demi terselesaikannya makalah ini.
Semoga semua amal kebaikan dari pihak tersebut mendapat keridloan dari Allah SWT.Penyusun berharap semoga apa yang dituliskan dalam makalah ini bermanfaat bagi rekan-rekan sesama mahasiswa.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang menbangun demi perbaikan kami kedepan.

BAB   I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENULISAN
            Hukum syara’ adalah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
            Dalam Islam telah di gambarkan proses kejadian manusia yang sejalan dengan hasil penelitian di bidang ilmu pengetahuan modern. Menurut asal kejadiannya manusia itu adalah bersaudara. Semua manusia terdiri dan unsur jasmasni dan rohani. Jasmani adalah unsur yang dapat dilihat dan disentuh oleh panca Indera, sedangkan rohani merupakan unsur yang tidak dilihat dan disentuh panca indera. Jamani adalah bagian manusia yang melakukan gerakan fisik seperti : bernafas, makan, minum, berjalan dll. Sedangkan rohani melakukan aktifitas berfikir, yang mendorong manusia membedakan yang baik dan yang  buruk.
Oleh karena itu penyusun mencoba membuat tulisan sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya serta kemaanfaatan dari mempelajarinya.

BAB    II
1.A.Pengertian Hukum Syara’
Hukum syara’ menurut istilah ulama ahli ushul adalah khithob (doktrin) syar’i yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau ketetapan. Yang dimaksud dengan yang menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati. Seperti firman Allah :
أوفوا بالعقود  
“penuhilah janji”
Adalah doktrin syar’i (Allah) yang berhubungan dengan menepati janji dengan tuntutan melaksanakan.Nash yang keluar dari syar’i yang menunjukkan tuntutan, pilihan, atau ketetapan itulah yang disebut hukum syara’ menurut istilah ahli ushul.
Adapun hukum syara’ menurut istilah ahli fikih adalah pengeruh yang ditimbulkan oleh doktrin syar’i dalam perbuatan (mukallaf), seperti kewajiban, keharaman, dan kebolehan. Jadi firman Allah
أوفوا بالعقود (penuhilah janji), maksudnya adalah kewajiban memenuhi janji. Nash itu sendiri adalah hukum menurut istilah ahli ushul, sedangkan kewajiban memenuhi adalah hukum menurut istilah ahli fikih.
Dari pengertian hukum syara’ menurut istilah ahli ushul dapat disimpulkan bahwa hukum itu tidak hanya satu macam. Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan Hukum Taklifi, dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan dengan Hukum Wadh’i.
 
B.Syariah dan Hukum Syara’
Syariah
Makna bahasa dari kata “Syariah” adalah sumber air yang tidak ada habis di mana orang-orang memenuhi dahaganya. Sesuai dengan arti secara bahasa makna Syariah adalah hukum Islam yang menjadi sumber petunjuk. Sebagaimana air yang merupakan dasar kehidupan, hukum Islam juga merupakan sumber penting untuk mengarahkan kehidupan manusia.
Syariah terdiri dari semua hukum yang diperoleh dari sumber hukum Islam. Hukum ini tidak terbatas pada masalah pernikahan atau perceraian saja, tetapi mencakup setiap perbuatan individu atau masyarakat. Kata Syariah juga merupakan sinonim dari fiqih.
Hukum Syara’
Al Qur’an dan Sunnah membicarakan berbagai topik seperti, kisah bangsa-bangsa terdahulu, hari pembalasan, dan yang lainnya. Tidak hanya itu, ada banyak nash yang membicarakan secara khusus mengenai perbuatan kita apakah harus dikerjakan atau terlarang, bagian ini dijadikan rujukan hukum Syara’.
Istilah hukum Syara’ dalam bahasa Arab maksudnya adalah seruan Pembuat Hukum (asy Syari’) berkenaan dengan perbuatan kita. Islam membahas semua perbuatan kita apakah boleh atau tidak. Setiap perbuatan kita harus mengikuti hukum Syara’. Allah berfirman:
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Al-Maidah: 45)
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al-Ahzab: 36)
2.A. Pembagian hukum syara’
Hukum syara’ terbagi dua macam:
a. Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.
b. Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
3.a Hukum taklifi
            Banyak orang Islam yang terlalu cepat menyimpulkan bahwa sesuatu Haram atau Fardu setelah membaca ayat atau hadits. Padahal tidak setiap perintah dari sumber hukum adalah Fardu atau Haram. Aturan untuk memahaminya, yang digunakan untuk membedakan jenis-jenis hukum Syara’ berkaitan dengan Ushul Fiqih.
Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu :
A. Fardu (wajib) 
Jika seruan untuk melakukan sesuatu adalah pasti (talab jazim) maka hukumnya Fardu atau Wajib, keduanya memiliki makna yang sama. Seseorang yang mengerjakan yang Fardu akan diberi pahala sedangkan yang tidak taat akan mendapat siksa.
Contoh: melaksanakan dan mendirikan shalat, membayar zakat, berpartisipasi dalam jihad, mematuhi hukum Islam, seorang muslimah mengunakan hijab, dll.
B. Haram (terlarang)
Jika seruannya berkaitan dengan perintah yang pasti untuk meninggalkan sebuah perbuatan maka perbuatan tersebut hukumnya Haram atau Mahdzur. Jika perbuatan haram dikerjakan, maka akan mendapat siksa sedang yang meninggalkannya akan mendapat pahala.
Contoh: melakukan riba, berjudi, menyerukan nasionalisme atau demokrasi.
C. Mandub, Mustahab, Sunnah atau Nafilah (dianjurkan) 
Jika seruan untuk melakukan perbuatan bersifat tidak pasti maka hukumnya Mandub. Seseorang yang mengerjkakannya mendapat keutamaan dan pahala. Sedangkan yang tidak mengerjakannya tidak dicela ataupun dihukum.
Contoh: menjenguk orang yang sakit, bersedekah kepada orang yang miskin, shaum senin kamis.
D. Makruh (tidak disukai) 
Jika seruan untuk meninggalkan perbuatan besifat tidak pasti maka hukumnya makruh. Orang yang meninggalkannya mendapat keutamaan dan pahala sedangkan mengerjakannya tidak dicela ataupun dihukum.
Contoh: shalat diantara waktu subuh dan terbit matahari, makan bawang sebelum pergi ke masjid, membuang sampah di jalan.
E. Mubah (boleh) 
Jika pilihan mengerjakan atau meninggalkan perbuatan diserahkan kepada masing-masing, maka perbuatan tersebut hukumnya Mubah. Yang mengerjakannya tidak akan diberi pahala atau pun mendapat siksa.
Seperti memakan domba atau ayam, menikah sampai empat istri, mengemudi mobil, dll
Sebagian hukum Syara’ seperti Fardu dibagi lagi menjadi beberapa subkategori. Sebagai contoh: Fardu dibagi menjadi Fardu ‘Ain dan Fardu Kifayah. Fardu ‘Ain adalah kewajiban setiap muslim, seperti shalat lima waktu setiap harinya, shaum di bulan ramadan, memenuhi kewajiban kepada suami atau istrinya. Sedangkan Fardu Kifayah merupakan kewajiban kepada seluruh umat hingga sebagian dari umat menyelesaikan Fardu tersebut, seperti mengurus pemakaman seorang muslim yang meninggal. Jika sebagian dari umat mengerjakan tugas tersebut, maka terangkatlah kewajiban atas sebagian yang lain.
4.a. Hukum wadh’i
a. Sebab, adalah suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78, yang artinya: “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.”
Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
b. Syarat, adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’tetapi keberadaan hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6 yang artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.”
c.Mani’ (penghalang), adalah sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi: “Pembunuh tidak memdapat waris.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
d. Shahih, adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.
e. Bathil, adalah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya: memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.
5. OBJEK HUKUM (MAHKUM BIH)
Objek hukum atau mahkum nih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i.[3]
Adapun syarat-syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum menurut para ahli Ushul Fiqh adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan itu sah dan jelas adanya; tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti mencat langit.
2. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3. Perbuatan itu sesuat yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.

6.A SUBJEK HUKUM (MAHKUM ‘ALAIH)
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
Adapun syarat-syarat taklif atas subjek hukum, adalah sebagai berikut:
1. Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah.
2. Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum.
3. Ahliyah al-Ada Kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.

B. PEMBUAT HUKUM (HAKIM)
Pembuat hukum (syar’i) dalam pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan kepentingan hidup di dunia maupun untuk kepentingan hidup di akhirat; baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pembuat hukum (syar’i) satu-satunya bagi umat Islam adalah Allah. Sebagaimana ditegaskan firman Allah dalam surat al-An’am: 57, Yusuf: 40 dan 67 yang artinya: “Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah.”
7. Manfaat mempelajari hukum syara’
            Hukum syara’ adalah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah.
Karna sesungguhnya Semua manusia itu terdiri dan unsur jasmasni dan rohani. Jasmani adalah unsur yang dapat dilihat dan disentuh oleh panca Indera, sedangkan rohani merupakan unsur yang tidak dilihat dan disentuh panca indera. Jamani adalah bagian manusia yang melakukan gerakan fisik seperti : bernafas, makan, minum, berjalan dll. Sedangkan rohani melakukan aktifitas berfikir, yang mendorong manusia membedakan yang baik dan yang  buruk. Dan mempelajari hukum syara’ akan menuntun manusia kedalam kehidupan yang diridloi ilahi.
BAB   III  
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum syara’ adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
- Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
- Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
- Hukum wadh’i terbagi menjadi 5 macam yaitu sebab, syarat, mani, shihah dan bathil.
- Objek hukum atau mahkum nih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i
- Mahkum ‘alaih atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
-Pembuat hukum syara’ dalam pengertian islam adalah allah SWT.

Masih terlalu banyak hal-hal yang belum terpenuhi dari kebutuhan manusia di muka bumi ini sebagai mana sifat manusia yang tidak pernah merasa puas dengan hasil kerja kerasnya, hal ini adalah salah satu Qodrat manusia yang diciptakan untuk tidak saling melepaskan antara satu dengan yang lainnya, keterkaitan ini adalah merupakan simbol bahwa manusia itu diciptakan agar saling mengenal, menyanyangi, mengayomi, memberikan bantuan kepada yang membutuhkan. Sebagai makhluk yang paling sempurna yang dilengkapi akal dan fikiran maka sangat wajar jika manusia juga memikirkan sesama dan alam sekitarnya. Untuk kelangsungan hidup yang lebih mapan tanpa harus saling menjatuhkan dan menindas kaum yang lemah.
Kritik dan saran

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekeliruan didalamnya serta tidak terstrukturnya pola pembahasan yang kami paparkan. Satu hal yang kami pahami bahwa tiada manusia yang sempurna tanpa kesalahan dengan segala yang dimilikinya. Oleh karena itu demi kesempurnaan isi makalah ini, dengan segala kerendahan hati kami memerima saran dan kritikan yang sifatnya membangun, berpijak dari itu makalah yang sederhana ini dapat menambah wawasan keilmuan terutama generasi Islam di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Amrullah. SF dkk., Dimensi hukum Islam dalam Sistem hukum Nasional, Mengenang 65 tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, SH., Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996
al-Sais, Muhammad Ali. Nasy’at al-Fiqhi al-Ijtih±diy wa Athwaruh, t.tp: Majma’al-Buhust al-Islamiyah, 1970
Arifin Bustanul, Perkembangan hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Djamil, H. Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Kansil, C.S.T., Pengantar Hukum Islam dan Tata Hukum Indonesia, Cet. VIII; Jakarta; Balai Pustaka, 1989
Syaltut, Mahmud, al-Isl±m Aqidah wa Syari’ah, t.tp: Dar al-Qalam, t.h
Syarifuddin, Amir, Pengertian dan Sumber Hukum Islam, Jakarta: Ardee Jaya, 198








Belajar hukum islam


1.      Apa hukumnya bagi kaum wanita yang bekerja diluar rumah? Jelaskan dan carikan dalilnya!
2.      Apa manfaat hadits dari Al-Quran?
3.      Apa yang dimaksud dengan ijtihad? Berikan contohnya!
4.      Apa yang dimaksud dengan Al-Istihsan? Kapan hal ini dapat dipergunakan?
5.      Apa yang dimaksud dengan Fatwa? Berikan 3 contoh fatwa di Indonesia!
Jawab:
1.                  Islam tidak memberatkan wanita yang ingin bekerja diluar rumah (berkarir),dan islam menghendaki agar wanita melakukan pekerjaan/karir yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang dapat menjaga kehormatan dirinya, kemuliaannya dan ketenangannya serta menjaganya dari pelecehan dan pencampakan.
 
قَولُهُ إلَى أجْنَبِيَّةٍ) اى إلَى شَيءٍ مِنْ امْرَأةٍ أجْنَبِيَّةٍ اى غَيْرِ مَحْرَمٍ وَلَوْ أمَةً. شَمَلَ ذَلِكَ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا فَيَحْرُمُ النَّظْرُ إلَيْهِمَا وَلَو مِنْ غَيْرِ شَهْوَةٍ او خُوفِ فِتْنَةٍ عَلَى الصَّحِيْحِ كَمَا فِى المِنْهَجِ وَغَيْرِهِ إلَى أَنْ قَالَ: وَقِيْلَ لاَ يَحْرُمُ لِقَولِهِ تَعَالَى: ولاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَهُوَ مُفَسِّرٌ بِالوَجْهِ وَالكَفَّيْنِ. وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ, وَلاَ بَأسَ بِتَقْلِيْدِ الثَّانِى لاَ سِيَمًا فِى هَذَا الزَّمَانِ الَّذِى كَثُرَ فِيْه خُرُوجُ النِّسَآءِ فِى الطُّرُقِ وَالأسْوَاقِ وَشَمَلَ ذَلِكَ ايْضًا شَعْرَهَا وَظُفْرَهَا.
(Ucapan Mushonnif: kepada wanita lain ), artinya kepada sesuatu dari wanita lain, yaitu yang bukan muhrim,meskipun budak belian. Hal itu meliputi mukanya dan kedua telapak tangannya, sehingga haram memandang muka dan kedua telapak tangan,meskipun tanpa sahwat atau rasa takut terhadap fitnah,menurut pendapat yang benar sebagaimana tersebut dalam kitab Al-Minhaj dan lainnya, sampai pada ucapan Mushanif: Dan dikatakan: tidak haram berdasar firman Allah ta'ala: "dan jnganlah para wanita menampakan tempat perhiasan mereka kecuali apa yang nampak darinya.
Apa yang nampak ini ditafsirkan dengan muka dan kedua telapak tangan. Pendapat yang dapat dipegangi adalah yang pertama.dan tidak berdosa mengikuti pendapat yang kedua,lebih
lebih pada zaman ini yang banyak para wanita keluar ke jalan-jalan dan pasar. Dan itu juga termasuk rambut kukunya".
       Maka seorang wanita diperbolehkan untuk keluar rumah dan bekerja dengan suatu keadaan atau jenis-jenis pekerjaan tertentu yang menuntut seorang wanita untuk melakukannya, seperti perawat, bidan, penjahit wanita, dokter kandungan dan lainnya.

 
Atau dikarenakan keadaan ekonomi keluarganya yang menuntut dirinya bekerja membantu suaminya dalam memenuhi kebutuhan hidup harian keluarganya atau seperti seorang janda yang harus memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang masih kecil.
Hal seperti ini menuntut dirinya untuk keluar rumah mencari pekerjaan ketimbang ia harus mengemis belas kasih orang lain. Untuk itu islam memberikan beberapa persyaratan yang harus diperhatikan oleh setiap wanita yang bekerja di luar rumah demi kebaikan diri dan masyarakatnya serta menjaga kehormatannya.
Ada pula syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika ingin keluar rumah seperti: Mengenakan Pakaian yang Menutup Aurat, Tidak Tabarruj atau Memamerkan Perhiasan dan Kecantikan, Tidak Melunakkan, Memerdukan atau Mendesahkan Suara, Menjaga Pandangan, Aman dari Fitnah, Mendapatkan Izin Dari Orang Tua atau Suaminya.
2. Dalam hukum Islam, hadits menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur`an. Penetapan hadits sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu al-Qur`an sendiri, kesepakatan ulama, dan logika akal sehat. Al-Quran menekankan bahwa Rasul Saw berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS. 16:44). Karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani oleh kaum muslimin.
 
Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan hokum didasarkan juga kepada sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.
Di antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa hadits merupakan sumber hokum dalam Islam adalah sebagai berikut :
An- Nisa’: 80
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ … (80)
“Barangsiapa yang mentaati Rosul, maka sesungguhnya dia telah mentaati Alloh…”
Dalam Q.S AnNisa’ 59, Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ …
3. Ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap suatu hukum syara’ (hukum Islam). ijtihad ) Al-jahd atau al-juhd ) yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Ijtihad juga diartikan sebagai kesungguhan para ulama’ mujtahid untuk menentukan suatu hukum dari masalah-masalah yang datang dari hukum syara’.  Contoh kecil dimana ijtihad ini harus dipakai adalah pada saat menentukan datangnya bulan ramadlan.
4. Ihtisan adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain. Hal ini boleh dipergunakan mana kala seseorang sedang menghadapi dua pilihan yang sama baik. Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.
 
5.  Fatwa adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, atau biasa juga disebut dengan nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. Contoh fatwa :
1. fatwa MUI merokok itu haram karena banyak mudarat daripada manfaatnya.Alasannya, ditinjau dari segi kesehatan dan keuangan bisa merugikan perokok.
2. MUI mengeluarkan fatwa haram untuk acara atau berita infotainment yang menyebarkan gosip maupun aib seseorang termasuk aib yang berbau pornografi.
3. Fatwa MUI Mengharamkan kawin kontrak atau nikah wisata.

No comments:

Post a Comment